INSOMNIA / Melerai Lara
para pemirsa yang berbahagia
tidak pernah takut melihat
angka nol saat memastikan
sisa paket internet
Tak akan pernah bisa. Bagi saya, terlalu banyak yang ingin saya ceritakan dan selalu ingin saya jadikan sebuah cerita yang tak pernah ada akhirnya. Karena menurut saya membuat akhir dari sebuah cerita adalah seperti bunuh diri. Sangat sulit. Entah apakah nanti saya bisa membuat akhir dari cerita ini. semoga saja demikiaan. Ini adalah gaya bahasa saya. Menurut saya, masih banyak kurangnya, tak bisa berbasa-basi, dan terlalu banyak titik. Ya. Banyak titik, bukan? saya banyak menggunakan kata Tanya dan hanya menulis sebuah cerita dari cara pandang saya saja. Sangat subyektif.
Membuat banyak paragraf adalah hal baru dalam menulis bagi saya.
Kembali dalam bentuk paragraf, saya benar-benar ingat dalam pikiran yang sangat puitis, membuat paragraf dengan hanya terdiri tiga kalimat di dalamnya. saya mencoba menerjemahkannya, Bagi saya, ketika saya tak bisa tidur disaat saya seharusnya tidur itulah insomnia. Mungkin jika ada seorang dokter membaca tulisan saya ini, mereka akan tertawa terbahak-bahak. saya akui, beberapa tahun belakangan saya seperti kehilangan kreativitas. Kehilangan semua imajinasi saya.
saya sangat ingin sekali membuat kalimat romantis. Kata orang, anak muda sangat mudah meluapkan rasa. saya ingin bisa meluapkan rasa seperti anak muda lainnya. Dan kalau saya tidak salah, saya memang masih pantas disebut anak muda.
Dan apa hubungannya dengan insomnia?
Memang banyak sekali liku dan tak jarang juga berjalan lurus. Tapi sekali lagi, bagi saya (manusia yang tak jelas) seperti tidak ada apa-apa yang terjadi.
saya tak punya cerita apapun. Ketika saya menulis ini, saya memang sedang mengalami insomnia.
Insomnia membuat saya berpikir lebih banyak. Melihat sekeliling dengan lebih dalam. Melihatnya seperti melihat cerminan diri sendiri. Malam selalu pekat dengan segala rahasianya. Dengan segala cerita di dalamnya. Terkadang sempat terpikir oleh saya kenapa saya takut dengan malam. Kata orang karena malam itu gelap. Dan kegelapan itu disimbolkan sebagai suatu kejahatan.
Tapi dibalik semuanya, saya selalu berpikir malam adalah waktu yang paling tepat untuk merenung. saya selalu takjup dengan kesunyiannya. Begitu hening dan menenangkan. Walau bagiku masih saja ada unsur ketakutan didalamnya.
Lupakan saya, saya memang manusia yang tak jelas. Dan tulisan ini, yang kusebut sajak (sangat memaksa) memang tak ada hal menarik di dalamnya. Kau pun harus memakluminya karena penulisnya pun bukan penulis yang jelas.
Insomnia adalah pengumpan besar. Itu akan memberi makan pada segala jenis pemikiran, termasuk memikirkan tentang tidak berpikir.
Pukul 03.18 WIB waktu kutuliskan postingan ini. Yah, kalian tahu bagaimana kondisiku. Ada untungnya juga terjangkit insomnia. Kita jadi punya waktu ekstra untuk menonton film-film drama.
Ibukota Negeri Insomnia adalah kamarku ini.. Adapun pulau-pulau lainnya antara lain Dreamian Island, Lunagos Island, Galautic Island, dan beberapa pulau kecil tak berpenghuni.
Kubalik-balik halaman Sang Sejarawan. Masih menceritakan seorang perempuan muda yang bercerita tentang kisah pengalaman yang diceritakan ayahnya dalam upaya pengejaran riwayat Dracula dimana kisah tersebut ternyata merupakan kisah yang diceritakan oleh perempuan tersebut pada waktu sudah tua.
Malam yang syahdu ini memang waktu yang baik untuk dapat menuliskan kalimat-kalimat panjang demi mengarungi malam nan gemilang yang sepertinya akan berlangsung panjang pula ini. Maka adakah kiranya seorang-dua orang dari kalian yang akan merenggut nikmatnya insomnia seperti diri saya saat ini dan menanti datangnya waktu tidur nanti.
Pada saat saya menyadari, bahwa kondisi hatiku telah membaik, tanpa sadar saya telah kehilangannya. Tiba-tiba ia menghilang, tetap tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia pergi meninggalkan saya, bersama kediamannya. Dan saya tak pernah tau kapan dia kembali. saya pun tak pernah mengharapkannya untuk kembali. Namun saya selalu berterima kasih akan kedatangannya. Karena kedatangannya mengajari saya untuk lebih bersyukur. saya memanggil sahabat saya itu dengan ”KESEPIAN.
Dengan tertatih, ia menyulam debu-debu sepi yang kian rindang. Mungkin, engkau bahagia. Seperti bertemu dengan ingatan yang usang, terbaring. Seperti ibu yang menunggu di rumah besar, berharap anak-anaknya segera pulang. Sebelum senja datang dan matahari menghilang. Di gelap langit.
Demikianlah pendengengar, dalam malam keterinsomniaan ini, saya berharap dua orang penyiar radio kita membacakan berita sembari disuruh berguling-guling di lantai studio. Sekian.
Comments
Post a Comment